AKU PEREMPUAN, AKU BEKERJA DAN AKU ...

Ya, aku perempuan. Memang benar perempuan. Memang begitu adanya. Bahkan aku pikir aku termasuk seorang perempuan yang benar-benar perempuan. Sejak kecil pun memang tidak tampak bakat menyerupai laki-laki, tomboy sekalipun. Aku suka bedak, suka menyisir, hate bad hair day, senang bermain masak-masakan, senang menggambar baju, dan itu semua tampak ketika aku masih ya.... berumur 6 atau 7 tahun. Pernah suatu ketika aku menangis karna suatu hal lalu mamaku mengingatkan bahwa masalahnya telah selesai dan mengapa aku menangis. Dan ketika itu aku menjawab bahwa aku kesal karna bedak yang aku pakai sudah luntur, hehe, konyol sih, tapi ya begitulah.... sampai akhirnya bila aku menangis mamaku sering berkata  “Nanti bedaknya habis!” haha, kalau diingat memang konyol. Tapi ya begitulah, mungkin tanda-tanda bahwa aku ini ya....perempuan.

Beranjak dewasa kali ini ketika pergaulan sudah mulai meluas, ternyata ya....sifat “keperempuananku” tidak luntur. Make-up semakin lengkap bahkan. Tak hanya bedak tapi juga berkenalan dengan  foundation, eye shadomw, blush on, eye liner, lipstick, primer, shimer, bronzing, dan sekarang aku sedang mendalami   ilmu shading and counturing –sampai beli bukunya di Gramedia- saking tertariknya dengan dunia perempuan ini.
Tahun berganti tahun, banyak hal yang dilalui, karier dan pekerjaan menjadi objek yang aku tekuni. Lulus SMA, alhamdulillah nasib mengantarkanku menjadi seorang yang semangat untuk belajar mandiri. Ya, akhirnya aku bekerja, mencari uang untuk sekedar ‘jajan baso’ atau beli bedaklah. Lumayan juga buat sekedar beli detergen untuk mama. Intinya, jiwaku beranjak untuk bisa lebih mandiri. Ya aku memang harus mandiri karna aku perempuan.
Memang secara umum perempuan tak diwajibkan untuk mencari nafkah apalagi setelah menikah. Dalam kajian agama juga sosial begitulah umumnya. Namun, tunggu heeey....banyak alasan mengapa sebaiknya kita, sebagai perempuan  bekerja.
Suatu hari aku pernah menyimak cuplikan kehidupan antara seorang ibu juga anak lelakinya. Sang ibu bertanya mengenai calon istri yang disodorkan sang anak. Pertanyaan pertama yang diajukan adalah tentang pekerjaan. Anak lelaki itu menjawab bahwa calonnya itu sudah bekerja. Maka raut wajah ibupun  berubah lebih tenang. Pikiranku saat itu berkata, ya ampuuun ini si ibu matre juga, ckckck..
Waktu berlalu dan pemikiran bahwa ternyata calon mertua alias camer itu mengharapkan calon mantu seorang pekerja. Maka atas dasar pemikiran hal itu aku berpikir aku harus tetap mempertahankan pekerjaan sekalipun kelak aku akan menikah dan ada yang bertanggung jawab untuk menafkahiku.
Pikiranku saat itu masih dangkal hanya sebatas menilai itu saja. Sampai hari kemarin ketika aku belajar untuk mempelajari sistem keuangan rumah tangga dimana sumber penghidupan hanya dari suami saja, maka cuplikan menarik tentang kehidupan pun muncul kembali.
Dan waw....dari situ aku mempelajari lagi mengapa seorang camer menginginkan calon mantu perempuannya bekerja. Ya itu....bekerja adalah tahap pembelajaran. Lho ....??? tentu saja... seorang perempuan yang bekerja akan tahu susah payahnya untuk mendapatkan kepingan rupiah, dia akan tahu bahwa untuk mendapatkan uang itu harus ada tenaga yang dikorbankan, ada waktu yang tersita, ada keterampilan yang harus dikerahkan hingga akhirnya satu tanggal datang dan upah diterima. Maka dia akan begitu menghargai kepingan rupiah yang didapatkan suaminya dengan cara membelanjakannya dengan efektif juga hemat serta perhitungan. Itu terlepas dari apakah perempuan itu bekerja atau tidak setelah menikah.
Memang, neraca keuangan seseorang akan berubah setelah menikah. Ada nominal ajaib yang dinamai “barokah menikah” ketika berumah tangga. Tapi akan lebih bijak bagi kita untuk tetap menjadi pribadi sederhana yang hemat juga perhitungan sekalipun suami kita yaaa...seorang “ATM hidup”. Salam perempuan cantik !  J

Comments

Popular Posts